Senin, 23 November 2009

Kearifan Lokal: Delapan Watak Pemimpin Jawa

Setiap komunitas memiliki seperangkat pengertian dan perilaku, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Semacam kekuatan atau kemampuan komunitas itu untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan serta kesulitan yang dihadapi.

Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom alias kearifan lokal. Dan secara praktis, kearifan lokal dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah praktiknya berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.

Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan lokal. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, antara lain, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.

Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai ”wakil/titisan” dewa atau Tuhan di muka bumi. Tugas mulia seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.

Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.

Dalam konteks ramainya kontes pemilihan pemimpin, tingkat lokal dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan lokal Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.

Astabratha

Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep yang disebut Astabratha itu menilai pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika.

Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.

Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif.

Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak dan lainnya.

Ketiga, air/banyu, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.

Berdemokrasi

Keempat, watak angin atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.

Surya atau matahari adalah watak kelima di mana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.

Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menenteramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tenteram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan memimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.

Lalu watak ketujuh dalam kearifan Jawa adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.

Dan akhirnya, Jawa menuntut seorang pemimpin mesti memiliki watak langit atau angkasa. Dengan watak ini, pemimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Tidak sempit pandangan, emosional, temperamental, gegabah, melainkan harus jembar hati-pikiran, sabar dan bening dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah inti atau substansi pemimpin adalah pelayan? Pemimpin yang berwatak juragan adalah penguasa yang serba minta dilayani dan selalu menguasai pihak yang dipimpin.

Sumber: Indra Tranggono Pemerhati Kebudayaan dan Cerpenis, Tinggal di Yogyakarta, www.kompas.com, 16/08/2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar